Apa itu Selfitis? Ini adalah merupakan istilah baru yang dikeluarkan oleh American Psychiatic Association untuk menyebut kelainan mental berupa kegemaran mengambil gambar dan posting (berbagi) selfie secara berlebihan. Walaupun pada awalnya pernyataan tersebut dianggap sebagai hoax saja, namun kemudian terbukti bahwa apa yang disebut sebagai selfitis itu nyata ada.
Adalah sekelompok peneliti dari dua universitas, yaitu Notthingham Trent University dan Thiagarajar School of Management di India yang ingin mengetahui lebih lanjut apakah fenomena selfitis ini memang benar ada.
Akhir dari sebuah study yang melibatkan responden 226 mahasiswa dari kedua kampus tersebut mendapatkan kesimpulan akhir bahwa kelainan mental “Selfitis” itu memang bedar ada, dan ada beberapa kategori.
“Kami nampaknya bisa mengkonfirmasikan keberadaan (selfitis) dan telah membuat ‘Skala Perilaku Selfitis’ pertama di dunia untuk mengevaluasi kondisi subyek,” tutur Dr. Mark Griffiths dari Departement Psikologi Nottingham Trent University.
Apa saja kategori-kategori tersebut, berikut ulasannya ;
Borderline Selfitis
Menurut para peneliti, orang yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang dalam seharinya melakukan selfie paling tidak tiga kali, tapi tidak mengunggahnya ke media sosial.
Selfitis Akut
Kelompok yang lebih meningkat lagi. Dia juga melakukan selfie setidaknya tiga kali dalam seharinya, kemudian mengunggahnya ke media sosial.
Selfitis Kronis
Orang yang masuk dalam kategori Selfitis kronis ini adalah seseorang yang inginnya terus menerus melakukan selfie sepanjang waktu, bisa enam kali atau lebih tiap harinya, serta mengunggahnya ke media sosial.
Namun ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan pendapat hasil dari studi seperti di atas. Adalah Dr. Mark Salter, juru bicara The Royal College of Psychiatrists, misalnya, menyuarakan kritik yang sangat pedas bahwa “Fenomena “selfitis” sebenarnya tidak ada dan tidak seharusnya ada. “Ada kecenderungan untuk melabeli serangkaian perilaku kompleks manusia dengan satu kata. Tapi ini berbahaya karena bisa membuat sesuatu menjadi nyata, padahal sebenarnya tidak,” kata Salter.
Sumber : Kompas Tekno
0 komentar:
Posting Komentar