Penyakit Jantung Koroner (PJK)) dikenal orang sebagai
serangan jantung yang sangat menakutkan karena sifat serangannya mirip ninja,
mendadak dan fatal akibatnya. Penyakit ini diperkirakan akan menjadi pembunuh
manusia nomor satu di dunia. Kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi,
diabetes, kebiasaan merokok dan kegemukan selama ini telah diketahui akrab
sebagai faktor resikonya yang paling dominan.
Namun ada sebagian orang tidak dalam kondisi atau
berperilaku seperti di atas, toh mendapat serangan penyakit jantung koroner
(PJK) juga. Sebaliknya ada pula orang dengan faktor resiko tersebut yang hidup
sampai usia lanjut tanpa pernah mengalami serangan jantung. Ternyata menurut
hasil penelitian WHO (Monica Care Study) di 26 negara, hanya 20% penderita
penyakit koroner dan stroke berkaitan dengan faktor resiko tadi. Karena itu, di
samping faktor-faktor tersebut, diperkirakan ada pula faktor-faktor lain yang
turut memicu munculnya serangan jantung koroner.
Oknum-oknum biologis dalam pembuluh darah itu sudah mulai
diteliti karena dianggap berperan penting dalam proses pengerasan dan
penyempitan pembuluh nadi koroner (aterosklerosis), yang dapat membawa akibat
serangan jantung. Mereka adalah Lp(a0, LDL (low density lipoprotein)
teroksidasi, homosistein, fibrinogen, dan endapan kalsium. Kelima unsur ini
bisa diredam dengan pendekatan nutrisi atau medik.
Lp(a) merupakan salah satu bentuk lipoprotein (kompleks
protein lemak yang mengikat dan mengangkut kolesterol). Ia banyak mengandung
LDL kolesterol dan ditandai oleh apo-a, yaitu bagian protein dalam Lp(a). Jenis
lipoprotein ini ternyata mengganggu penghancuran fibrin, suatu substansi dalam
bekuan darah yang meningkatkan pembentukan plak pada dinding pembuluh darah. Penelitian
Universitas Tufts dan New England Medical Center Hospital menunjukkan
peningkatan kadar Lp(a) berlebihan dijumpai pada 19% penderita penyakit koroner
usia muda.
Mengapa Lp(a) menimbulkan masalah? Jawabannya mungkin
terletak pada desain unik Lp(a). LDL kolesterol yang terkandung dalam Lp(a)
merupakan bola kolesterol yang terbungkus seutas benang lip[oprotein. Ketika
LDL kolesterol berjalan di dalam pembuluh nadi, benang lipoprotein tercantol
plak ateroma (massa plak yang bergenerasi dan menebal) dan muatan kolesterolnya
tumpah berantakan. Pada Lp(a) juga terdapat utas benang protein tambahan yang
berfungsi mirip penghancur bekuan darah (clotbuster) alami. Karena plak ateroma
mengandung bekuan darah, ilmuwan mencurigai benang protein mirip clotbuster ini
sebenarnya tidak menghancurkan bekuan darah, tetapi justru menyumbat pembuluh
darah dengan menggaet lebih banyak kolesterol.
Kendati pemeriksaan laboratorium dapat mengungkapkan
kadar Lp(a), tetapi tidak ada obat atau
diet yang dapat menurunkan kadarnya. Barangkali, yang mampu menurunkan kadarnya
cuma terapi estrogen pada wanita pasca menopause dan pemberian niasin oleh
dokter.
LDL sendiri merupakan lipoprotein yang mengangkut
kolesterol dan mengandung fosfolipid, asam lemak tidak jenuh, serta antioksidan
alami vitamin E (alfa-tokoferol). Jika LDL-Kolesterol teroksidasi, berbagai
macam produk oksidasi, yang umumnya berbahaya bagi sel normal, akan terbentuk
dan merusak dinding pembuluh darah.
Endapan LDL-kolesterol teroksidasi, juga dapat menyulitkan sel makrofag (suatu
bentuk sel darah putih) untuk membersihkan endapan tersebut dari dinding sel
pembuluh darah. Sel-sel makrofag juga sulit “memakan” LDL-kolesterol
teroksidasi, sehingga kadar LDL-kolesterol akan meninggi di dalam darah.
Nah, untuk mencegah oksidasi LDL-kolesterol kita bisa memasok
antioksidan dari luar, yakni kombinasi vit E, vit C serta selenium. Selenium
bisa diperoleh dari bawang putih, Vitamin E dari biji-bijian atau
kacang-kacangan utuh, sementara vitamin C dari sari buah seperti jambu dan
jeruk. Konsumsi tahu, tempe, susu kedelai, dengan bawang putih dan jus buah/
sayuran dapat memberikan kombinasi ketiga unsur gizi di ataas secara alami.
Unsur-unsur antioksidan lain seperti flavonoid, karotenoid, dan ubikuinon juga
dapat diperoleh dari ketiga jenis makanan tersebut.
Homosistein juga merupakan “oknum biologis” yang
dicurigai berkaitan erat dengan penyakit jantung koroner (PJK). Ia merupakan
senyawa hasil metabolisme metionin (Methionine), yaitu salah satu jenis asam
amino esensial yang cuma diperoleh manusia dari makanan. Peranannya sebagai
penyebab penyakit jantung koroner, khususnya pada usia muda, ditemukan pertama
kali oleh McCully pada tahun 1969. Bekerja sama dengan Wilson, para peneliti
ini mengajukan teori homosistein pada aterosklerosis yang disusun berdasarkan
penelitian terhadap anak-anak penderita homosisteinuria.
Peningkatan angka kejadian penyakit jantung koroner pada
kadar homosistein tinggi disebabkan oleh sifat homosistein yang mudah mengalami
oksidasi untuk membentuk radikal bebas seperti superoksid dan oksigen reaktif. Radikal
bebas dapat merusak dinding dalam pembuluh darah. Selain itu, kadar homosistein
yang tinggi juga meningkatkan penjendalan darah (trombosis).
Kadar homosistein dalam darah dapat meningkat (nilai
normalnya berkisar 5 – 15 ยตmol/l)
jika seseorang mengkonsumsi protein melebihi kebutuhan. Jika asupan protein melebihi
kebutuhan, maka akan meningkatkan pula asupan metionin (daging dan ikan
mengandung 2,7 g metionin/100g, telur 3,2 g/100g, dan susu 2,9 g/100g). Orang
yang memakan lebih dari 2 porsi makanan sumber protein per hari misalnya, akan
mengkonsumsi lebih dari 2 g metionin per hari. Asupan metionin yang ideal per
harinya cuma 0,9 g. Akan menjadi bahaya kalau metionin tadi di-metabolisasi
jadi homosistein. Naiknya kadar homosistein ini selanjutnya bisa meningkatkan
resiko serangan jantung koroner. Wajar bila resiko serangan jantung koroner
pada usia muda tampak lebih besar pada kelompok masyarakat dari tingkat sosio ekonomi
menengah ke atas, yang umumnya mengkonsumsi makanan tinggi protein.
Sebenarnya, homosistein dapat dimetabolisasi oleh tubuh
menjadi senyawa tidak berbahaya, seperti
sistein atau diubah kembali menjadi metionin (methionine). Syaratnya, ada beberapa
enzim yang bekerja dengan bantuan beberapa anggota vitamin B-kompleks. Vitamin
B6 misalnya, diperlukan untuk kerja enzim yang mengubah homosistein
menjadi sistein. Vitamin B12 dan asam folat untuk kerja enzim yang
mengubah kembali homosistein menjadi metionin. Kekurangan tiga jenis vitamin
tersebut, yang banyak terdapat dalam biji-bijian dan sereal utuh, hal ini dapat
menaikkan kadar homosistein. Akibatnnya bisa menimbulkan resiko penyakit
jantung koroner.
Dengan demikian, pencegahan penyakit jantung koroner
(PJK) akibat kenaikan kadar homosistein sebenarnya dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi benih (germ) biji-bijian dan sereal utuh. Umpamanya, beras
digiling berkali-kali. Beras semacam ini lebih disukai ketimbang beras tumbuk
karena di samping penampilannya lebih menarik, juga cita rasanya lebih enak, serta
tahan lama. Gaya hidup yang kurang sehat dalam masyarakat modern, seperti
banyak merokok, minum minuman keras atau kopi, dan kurang berolahraga punya
andil menaikkan kadar homosistein.
Penigkatan kadar fibrinogen pun diketahui berkaitan
dengan penigkatan resiko serangan jantung koroner. Pada tahun 1986 sejumlah
ilmuwan di Inggris menemukan, kelompok dengan kadar fibrinogen tinggi mempunyai
resiko penyakit jantung iskemik (gangguan aliran darah) lebih tinggi, yakni
84%, dibandingkan dengan kelompok yang kadar fibrinogennya rendah. Hubungan ini
dicoba dijelaskan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin banyak fibrinogen
dalam darah, maka semakin besar bekuan darah yang akan terbentuk ketika sebuah
plak ateroma pecah.
Kadar fibrinogen tinggi sering dijumpai pada penderita
kegemukan dan hipertensi. Karena itu, Dr. Daniel Rader, Direktur Program
Kardiologi Pencegahan pada Universitas California mengatakan, “Pengendalian berat
tubuh dan tensi darah dapat menurunkan kadar fibrinogen.” Latihan fisik yang
tepat dan dilakukan secara teratur juga dapat mengurangi kadar fibrinogen.
Selanjutnya, tentu saja risiko penyakit jantung koroner (PJK) diharapkan
menurun.
Terakhir, endapan kalsium juga dianggap sebagai biang
keladi tampilnya penyakit jantung koroner (PJK). Endapan bisa terlihat dengan
menggunakan alat CT-scan mutakhir, yang bisa membuat foto pembuluh darah
diantara detak jantung. Dari hasil kerja alat tersebut maka akan terlihat
bayangan kalsium lebih tajam.
Dr. Brundage, seorang spesialis kardiologi pada Bend
Memorial Clinic di Oregon, Amerika Serikat, mengatakan, “Jika alat ini
menunjukan kalsium dengan jumlah besar dalam pembuluh nadi, maka si pasien bersangkutan menghadapi peningkatan
risiko untuk mengalami penyumbatan yang berbahaya.” Alat ini (CT-scan) memiliki kemampuan untuk mendeteksi
sumbatan pembuluh nadi jauh sebelum pemerikasaan angiografi dapat
membuktikannya.
Dengan terdeteksinya endapan kalsium lebih dini, maka pencegahan
infark dapat dilakukan melalui tindakan bedah pembuluh darah (angioplastik) dan
pemasangan stent-yaitu, semacam pipa yang disisipkan ke dalam pembuluh nadi
yang akan tersumbat – disamping pengobatan dan diet untuk menurunkan kadar
kolestrol.
Meskipun kelima “oknum biologis” di atas sudah dapat
dilacak lewat tes laboratorium, biaya masih relatif mahal. Makanya, tes
laboratorium ini jarang dimintakan oleh dokter.
Waspadai Virus
Disamping mereka, masih ada faktor lain yang membawa
risiko pada diri seseorang untuk terkena penyakit jantung koroner. Beberapa jenis
virus, seperti cytomegalovirus dan virus herpes simplex, ternyata dalam
sejumlah penelitian yang pernah dilakukan juga memiliki kaitan dengan risiko
aterosklerosis. Buktinya adalah ditemukannya antigen virus herpes dan rangkaian
asam nukleat virus tersebut dalam plak ateroma.
Disamping itu, radikal bebas seperti superoksid yang
dihasilkan oleh sel darah putih untuk menghancurkan virus mungkin juga
mengakibatkan cedera sel pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya akan
menimbulkan plak dan endapan kalsium.
Pemeriksaan terhadap TORCH (singkatan Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex) kini sudah dapat dilakukan. Tetapi,
untuk membuktikan korelasi antara aterosklerosis dan infekis virus tetap
diperlukan penelitian lebih lanjut.
Sementara itu, tes canggih untuk mendeteksi faktor
genetik, sebagai salah satu faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK), kini
sudah dapat dilakukan di negara maju lewat pemeriksaan DNA (deoxyribonucleid
acid). Dr. Roger Williams dari University of Utah School of Medicine
mengatakan, “dengan mengenali gen yang meningkatkan risiko penyakit koroner,
kita akan melakukan DNA scanning untuk menentukan apakah kita memerlukan terapi
pencegahan serangan jantung.”
Semua tes seperti di atas tentu biayanya sangat mahal sehingga
tidak semua orang bahkan di negara maju sekalipun mampu untuk melakukannya,
kendati beberapa rumah sakit di negara maju sana sudah memiliki fasilitas
pemeriksaan. Namun, bagi mereka yang banyak uang dan ingin mengecek kondisi
jantung serta pembuluh darahnya secara dini dengan cara-cara yang lebih canggih
dan lebih akurat, fasilitas tersebut mungkin dapat dimanfaatkan.
sumber : Majalah Intisari